Dehumanisasi dapat ditafsirkan sebagai akibat kemerosotan tata-nilai.
Mereka yang menjadi korban dehumanisasi kehilangan kepekaan kepada
nilai-nilai luhur, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan(estetik) dan
kesucian. Mereka hanya peka dan menghargai nilai-nilai dasar, seperti
materi (pemilikan kekayaan), hedonisme (kenikmatan jasmani) dan gengsi
(prestise). Tiga nilai inilah, yaitu materialisme-hedonisme-prestise,
yang menjadi dasar dari tata-nilai bagian besar dari masyarakat kita
dewasa ini. Dan karena tidak disantun oleh nilai-nilai yang lebih
tinggi, khususnya nilai kebaikan (etik, moral) dan kesucian (agama), di
dalam mendapatkan nilai-nilai dasar itu mereka menghalalkan segala cara.
Korupsi, kolusi dan nepotisme serta (bahkan) kekerasan adalah cara yang
sah; maksiat, kecabulan dan pemadatan adalah perilaku yang wajar;
gengsi, sebagai kebalikan dari harga-diri (sense of honour), menampakkan
dirinya dalam sifat tak bermalu dan bahkan cenderung membanggakan hasil
kejahatan. Semua itu adalah gaya hidup yang sesuai bagi masyarakat
dengan tata-nilai rendah sebagai akibat proses dehumanisasi itu.
Modernisme
bisa menjadi perlawanan terhadap dehumanisasi dalam masyarakat modern.
Masyarakat modern, yang kelihatannya tertib dan makmur, sebenarnya
hanyalah selubung yang menyembunyikan proses dehumanisasi akibat
dominasi rasionalitas-teknis. Selubung itulah yang hendak disingkap oleh
pemberontakan dan “efek pengasingan” seni modern.
Dehumanisasi
terjadi manakala kita mulai menganggap musuh kita sebagai sesuatu di
bawah manusia (kurang dari tingkat manusia). Kita menganggapnya sebagai
’demon’ atau hewan sehingga kita bisa berempati dengan deritanya ketika
kita menyerang dan membunuhnya. Hal ini berhubungan dengan
pseudospeciation, dengan cara itu kita menganggap musuh kita sebagai
species yang lain. Dimetrios Julius menemukan fenomena yang menarik
tentang dehumanisasi:
“Poin penting yang perlu dicatat di sini
adalah bahwa proses dehumanisasi orang lain ini juga mempunyai cara
dehumanisasi individu itu sendiri…Saat kita menolak martabat dan rasa
hormat terhadap orang lain, kita juga mulai kehilangan kemanusiaan dan
rasa hormat diri sendiri” (julius, 2001:46).
Akibatnya, semakin
kita dehumanisasi musuh kita, kita pun menjadi semakin kurang manusiawi
(less human). Siklus ini mengabadikan kemampuan dan keinginan kita untuk
membunuh musuh kita; bahkan memudahkan kita untuk melakukannya. Rafael
Moses mengkaji konsep ini dan mengemukakan bahwa karena proses
demonisasi dan dehumanisasi, kita bisa membunuh tanpa merasa salah
karena dua alas an: pertama, kita berurusan dengan sesuatu yang kurang
manusiawi (less than human); dan kedua, subhuman ini mengancam
kelangsungan hidup kita sendiri, karenanya agresi kita dibenarkan demi
mempertahankan diri. Mendehumanisasikan musuh. Masyarakat lebih luas
mungkin tidak merestui tindakan-tindakan ini, tetapi secara tersirat
mereka mengijinkan tindakan itu dilakukan atas nama mereka.
Dehumanisasi
memang merupakan fakta sejarah tetapi tidak berarti manusia harus
menerima hal tersebut sebagai fakta sejarah yang terberi. Secara
aktual-empiri, di panggung publik deretan maksiat yang terkait dengan
narkoba, judi dan prostitusi masih kokoh menjadi penyakit masyarakat.
Bersumber dari krisis multidimensi dan krisis moral, deretan maksiat
tersebut diperpanjang lagi oleh maraknya korupsi, kebohongan, kekerasan
yang kemudian bersambung lagi dengan kejahatan, premanisme dan
perdagangan manusia. Potret buram ini, benar-benar menunjukkan adanya
segmen masyarakat yang khaostik, alienasi dan sedang dalam dehumanisasi.
Secara
semantik, dehumanisasi terjadi tatkala nilai-nilai luhur yang ada dalam
teks ideologi, budaya dan agama tidak lagi berfungsi efektif sebagai
pegangan hidup manusia sehari-hari, sehingga kebudayaan kehilangan
dukungan kolektif dan manusia cenderung hidup tanpa basis keluhuran
kebudayaan. Dalam habitat seperti itu, manusia cenderung berperilaku
sebagai serigala satu terhadap yang lain. Moral dan etika kehidupan
sangat rapuh, jati diri terombang-ambing dan keharkatan berkembang makin
nihil. Kehidupan mengalami kevakuman kultural. Fisik, rasio, rasa dan
hati nurani tidak dalam kondisi seimbang.
Suatu kenyataan bahwa di
dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara
sebagian kecil lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara
yang tidak adil. Persoalan inilah yang disebut oleh Paulo Freire
sebagai “situasi penindasan” yang apapun nama dan alasannya adalah tidak
manusiawi; dengan kata lain, dehumanisasi. Dehumanisasi, dalam
pemahaman Freire, adalah bersifat ganda, dimana ia terjadi atas diri
mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum
penindas.Kedua-duanya menyalahi kodrat manusia sejati (the man’s
ontological vocation). Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi
karena hak-hak asasi mereka dinistakan.
Bahkan, mereka sendiri
pun dibuat tak berdaya dan dibenamkan ke dalam apa yang disebut Freire
sebagai “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence).
Sedangkan miroritas kaum penindas, menjadi tidak manusiawi, karena telah
mendustai hakikat keberadaan dan hati nurani dengan memaksakan
“penindasan” terhadap sesama. Teknologi menjelma menjadi faktor dominan
dalam kultur manusia masa kini, secara hegemonik menguasai kesadaran
manusia modern. Berbagai unsur lain, kebudayaan manusia menjadi
seolah-olah berada pada posisi subordinat, tergantung atau malah.
”Akibatnya, teknologi seringkali diposisikan secara dikotomis terhadap
unsur kebudayaan lain. Pada satu sisi lain, ia juga sering dituduh
sebagai penyebab terjadinya dehumanisasi, pemudaran sistem nilai,
kerusakan lingkungan alam, kriminalitas, pembongkaran struktur sosial
dan lainnya.”
Proses dehumanisasi sebagaimana dikatakan oleh sosiolog
Max Weber (1864-1920), secara lambat namun pasti, menggerogoti
masyarakat kita. Industrialisasi yang memegang teguh prinsip-prinsip
rasionalisasi telah melahirkandisenchantment of the world. Proses
lunturnya daya tarik dunia karena semua yang ada dalam kehidupan bumi
dapat dihitung secara rasional. Akibatnya, terjadilah penurunan kualitas
kehidupan manusia (dehumanisasi), karena segala hal yang tadinya
bersifat subjektif dapat diubah menjadi objektif, kualitatif menjadi
kuantitatif.
Dengan demikian, tidak ada alternatif lain kecuali ikhtiar
memanusiakan kembali manusia (humanisasi) sebagai pilihan mutlak. Sebab,
kendatipun dehumanisasi merupakan kenyataan yang terjadi sepanjang
sejarah peradaban manusia, dan tetap sebagai suatu kemungkinan ontologis
di masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah (determinisme).
Manusia sebagai pribadi (subjek otonom), berarti memiliki kepribadian
yang mengatasi atau mentransendir dunia luar, alam sekitar. Hal ini
merupakan salah satu letak perbedaan dengan hewan. Seekor hewan tidak
dapat berbuat lain daripada apa yang telah ditentukan oleh nalurinya.
Namun, seorang manusia yang merupakan subjek mandiri, bermartabat
pribadi dapat mengatasi alam sekitar dan tidak dideterminasikan oleh
nalurinya.
Selasa, 24 Januari 2012
07.55
Ilyas Hasan
0 komentar:
Posting Komentar